Wednesday, April 13, 2011

Sains Abad 20 (Part 1)

Sains modern telah membawa pengaruh yang dalam pada hampir semua aspek kehidupan umat manusia. Ia telah menjadi dasar bagai teknologi dan rekayasa kehidupan yang secara fundamental telah mengubah kondisi-kondisi kehidupan di muka bumi, baik kemaslahatan yang ditimbulkannya maupun kerusakan yang dihasilkannya. Saat ini, dapat dikatakan hampir tidak ada satupun industri yang tidak memanfaatkan hasil-hasil dari sains, dan pengaruhnya dalam struktur politik dunia dapat dilihat dari perlombaan persenjataan yang semakin canggih. Lebih jauh, pengaruh sains tersebut sudah bergerak jauh, melampaui batas teknologi dan secara dramatis telah meluas ke kancah pemikiran dan kebudayaan, dimana pengaruh tersebut menuntun manusia pada terjadinya revisi mendasar atas konsepsi manusia tentang alam semesta dan relasi manusia terhadapnya.
Lompatan-lompatan besar dalam sejarah perkembangan sains banyak terjadi pada abad ke-20. Banyak teori-teori dan penemuan-penemuan sains yang dihasilkan pada abad tersebut mendorong pada revolusi sains dan paradigmanya. Sejumlah besar ilmuwan terlibat dalam kemunculan teori dan penemuan sains. Demikian pula, sejumlah negara dan kawasan memiliki kontribusi yang lebih merata bila dibandingkan dengan perkembangan sains pada abad-abad sebelumnya. Karena itu, sangatlah beralasan bila kajian tentang perkembangan sains pada abad ke-20 ini menjadi suatu keniscayaan yang mendasar. Tidak sebanding dengan luasnya topik kajian ini, dalam tulisan serba singkat ini, penulis hanya mencoba mengungkap kembali beberapa fenomena yang menyertai teori dan penemuan sains yang dihasilkan pada abad ke-20 ini. Kajian lebih mendalam dan diskusi lebih lanjut akan sangat membantu bagi upaya memahaminya lebih jauh. Untuk itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan penulis dalam upaya memahami topik kajian tersebut.

PERKEMBANGAN SAINS HAYATI (LIFE SCIENCE) ABAD KE 20

Beberapa
Perkembangan Sains Hayati Abad ke-20 dapat diungkap sebagai berikut:

1. Genetika

Meskipun Hukum-hukum genetika Mendel telah ditemukan pada tahun 1866, namun hukum Mendel tersebut baru menarik perhatian orang setelah ditemukan kembali oleh tiga orang ilmuwan, yaitu Hugo De Vries (Belanda), Carl Erich Correns (Jerman) dan Erik Tschermak von Seysenegg (Austria) pada tahun 1900. Berikutnya, Walter S. Sutton dan T. Boveri secara terpisah pada 1902 mengembangkan riset tentang prilaku kromosom dalam pembelahan sel tubuh dan sel kelamin., dan mengemukakan adanya keterpautan gen (gen linkage). Istilah gen sendiri mula-mula digunakan oleh ahli genetika Denmark, Johansen pada 1906 sebagai nama bagi satuan pewarisan sifat yang dipostulatkan oleh Mendel. Menjelang 1940-an studi tentang genetika berkembang pesat dan pada waktu itu dipastikan bahwa pembawa faktor-faktor keturunan ialah kromosom dalam sel dan istilah gen digunakan untuk unit-unit pembawa faktor keturunan dalam kromosom. Pada 1940 dua orang ahli biologi Amerika, Beadle dan Tatum mengerjakan riset yang menghasilkan kesimpulan bahwa produksi suatu enzim ditentukan oleh ada tidaknya suatu gen tertentu. Dalam pekerjaannya tersebut, Beadle dan Tatum mereduksi peristiwa biologi menjadi peristiwa kimia. Pada tahun 1944 tiga orang ilmuwan Amerika, O.T. Avery, C.M. Mc. Leod dan M. Mc. Carty menunjukkan bahwa dalam bakteri pemindahan faktor keturunan dilakukan oleh DNA. Dalam penelitian mereka tersebut, ekstrak dari sel bakteri yang satu gagal men-transformasi sel bakteri lainnya kecuali jika DNA dalam ekstrak dibiarkan utuh. Eksperimen Hershey dan Chase kemudian membuktikan hal yang sama dengan menggunakan pencari jejak radioaktif (radioactive tracers). Misteri yang belum terpecahkan ketika itu adalah: bagaimanakah struktur DNA sehingga ia mampu bertugas sebagai materi genetik. Persoalan ini dijawab oleh Francis Harry Compton Crick dan koleganya James Dewey Watson berdasarkan hasil difraksi sinar-x DNA oleh Maurice Hugh Frederick Wilkins dan Rosalind Franklin. Kemudian hari, Crick, Watson, dan Wilkins mendapatkan hadiah Nobel Kedokteran pada 1962 atas penemuan ini.

2. Neo-Darwinisme

Pada tahun 1942 Julian Huxley menggabungkan teori evolusi Darwin dan genetika sebagai acuan dasar Neo-Darwinisme sistematis, yang disebutnya Sintesis Modern. Dalam hal ini mutasi dan kombinasi gen (unit hereditas) dipandang sebagai sumber utama variasi, dan keduanya mengalami proses acak yang tidak ada kaitannya dengan kebutuhan organisme. Para pendukung sintesis modern ini diantaranya adalah Ernst Mayr, Theodisius Dobzhansky dan Gaylord Simpson. Berbeda dengan Neo-Darwinisme yang telah berkembang sebelumnya, dimana perubahan evolusioner dalam dipandang sebagai hasil akumulasi bertahap dari perubahan-perubahan kecil, pada tahun 1970-an Stephen Jay Gould dan Niles Eldredge mengusulkan teori kesetimbangan bersela (punctuated equilibrium), di mana terdapat periode stabilitas yang panjang diselingi perubahan besar yang berlansung singkat. Teori ini dapat dianggap sebagai versi luas dari sintesis Neo-Darwinian. Pada perkembangan berikutnya, dalam kaitannya dengan sifat dan teori evolusi Darwin, muncul teori The Selfish Gene tentang gen yang mementingkan diri sendiri yang dikemukakan oleh Richard Dawkins pada tahun 1976 . Dawkins menggunakan istilah replikator untuk gen yang salah satu sifat paling mencoloknya adalah adanya persaingan antar replikator; dimana replikator yang paling menang akan menjadi replikator yang bertahan hidup dan terus menyelenggarakan proses replikasi yang akan menyangga kehidupan; sebuah proses yang mengingatkan pada teori seleksi alami Darwin.

3. Biokimia

Mekanisme terang gelap pada teori fotosintesis yang telah ditemukan sebelumnya oleh von Mayer (1842), baru mendapatkan penjelasan memadai setelah Cornelis van Niel meneliti bakteri fotosintesis pada tahun 1931. Kesimpulan yang diperolehnya dari penelitian ini adalah bahwa oksigen yang dibebaskan dari proses fotosintesis bukan berasal dari karbondioksida tetapi berasal dari molekul air. Teori tentang fotosintesis ini kemudian disempurnakan oleh Richard Willstatter yang mengemukakan pendapatnya bahwa energi yang diperlukan untuk mereduksi karbondioksida berasal dari cahaya matahari yang diserap zat dalam tumbuhan yang berwarna hijau, yang terdiri atas dua senyawa yang hampir sama yaitu klorofil a dan klorofil b. Ia memperoleh hadiah Nobel tahun 1915 atas hasil penelitiannya tentang klorofil, karotenoida dan antosianin serta penggunaan kromatografi partisi untuk memurnikan senyawa-senyawa tersebut. Pada tahun 1920 Otto Heinrich Warburg (Jerman) bersama ayahnya Emil Warburg melakukan penelitian tentang pengukuran energi yang dibebaskan oleh suatu reaksi fotokimia. Di samping itu, Otto Warburg juga berjasa mengidentifikasi enzim derivat besi porfirin dan enzim-enzim lain yang berperan dalam respirasi sel. Berikutnya, pada tahun 1930 Hans Fischer (Jerman) berhasil menentukan rumus struktur klorofil. Antara tahun 1946-1953 Melvin Calvin (Amerika) melakukan penelitian untuk mengetahui zat antara yang dihasilkan oleh proses fotosintesis, sebelum terbentuk molekul gula atau glukosa dengan menggunakan perunut radiokarbon.
Pada awal abad ke-20 studi tentang biokimia terutama diarahkan pada vitamin dan hormon. Kemudian dengan ditemukannya radiosiotop sebagai bahan perunut maka studi tentang fermentasi, metabolisme serta enzim dan genetika mendapat perhatian besar. Pada tahun 1912 Frederick Gowland Hopkins (Inggris) memperkenalkan konsep faktor makanan tambahan, selain makanan yang mengandung energi, dan protein atau mineral. Penelitiannya pada tahun 1906 dan 1907 menghasilkan penemuan asam amino esensial, berhasil mengisolasi triptofan dan glutation, serta melakukan penelitian mengenai asam laktat dan kaitannya dengan fungsi otot. Cassimir Funk (Polandia) menamai faktor makanan tambahan tersebut sebagai vitamin. Sebelumnya, Christian Eijkmann (Belanda) telah menemukan faktor antineuritik yang di kemudian hari dikenal dengan nama tiamin (vitamin B1). Karenanya, Hopkins dan Eijkman kemudian mendapatkan hadiah Nobel tahun 1929. Ahli biokimia lain, Richard Kuhn (Jerman) berhasil mengisolasi riboflavin (vitamin B2) yang membawanya memperoleh hadiah nobel pada tahun 1938.
Pada tahun 1907 Eduard Buchner mendapat hadiah nobel atas karyanya tentang proses fermentasi yang menghasilkan alkohol. Pada tahun 1904 Arthur Harden (Inggris) dan Young berhasil mengisolasi koenzim dari cairan ragi. Studi yang dilakukan Otto Fritz Meyerhoff (Jerman) menunjukkan bahwa koenzim yang terdapat pada proses fermentasi yang menghasilkan alkohol jugaterdapat dalam sel otot dan merupakan faktor penting dalam metabolisme karbohidrat. Bersama dengan Gustav Embden ia menjelaskan tentang penguraian gula fosfat beratom karbon 6 menjadi dua molekul beratom karbon 3, hingga menjadi asam piruvat. Rangkaian reaksi ini kemudian dinamakan jalur Embden-Meyerhoff. Berikutnya, James Batcheller Sumner (Amerika) berhasil memperoleh kristal urease pada tahun 1926. Pada tahun 1960 William H. Stein dan Stanford Moore (Amerika) berhasil untuk pertama kalinya menentukan urutan asam amino dari ribonuklease. Selanjutnya, pada tahun 1965 David C. Phillips (Inggris) berhasil pula menentukan struktur tiga dimensi dari lisozim.
Pada tahun 1937 Albert Szent-Gyorgi, seorang ahli biokimia asal Hongaria memperoleh hadiah nobel atas penemuannya mengenai proses pembakaran dalam sistem biologi dengan perhatian khusus terhadap vitamin C serta asam fumarat. Penelitian ini dilakukannya pada tahun 1930 dan ia juga berhasil mengisolasi asam askorbat (vitamin C). Di samping itu juga, ia melakukan penelitian tentang jaringan otot serta metabolisme yang terjadi serta peranan ATP sebagai sumber energi. Penelitian tentang metabolisme yang menghasilkan energi dilakukan Krebbs pada tahun 1937, yang menyatakan adanya siklus metabolisme yang terdiri atas serangkaian reaksi kimia dalam sel yaitu pada mitokondria.

0 komentar

Post a Comment